Senin, 03 Juni 2013

Mengenang Nama Besar Sriwijaya

Mengenang Nama Besar SriwijayaSriwijayaA adalah kerajaan terbesar di Indonesia pada periode abad ke-7 sampai abad ke-14 yang wilayahnya mencakup hampir seluruh Nusantara, minus (Irian Jaya), dan beberapa negara ASEAN, bahkan sampai ke Madakastar. Kita bersyukur, Palembang mendapatkan kehormatan menjadi ibukota Inperium terbesar abad ke-13 ini. Walaupun sebagian sejarah masih memperdebatkan lokasi ibukota kerajaan Sriwijaya. Namun, secara defecto, pemerintah pusat telah memutuskan Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.

Hal ini terbukti dari pembangunan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) di Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Gandus, dengan bantuan APBN dari Pusat. Namun, kebesaran Sriwijaya hanya dikenal lewat kerajaannya semata. Hampir tak terdengar siapa yang telah membesarkan nama Sriwijaya dan bagaimana kiprah tokoh tersebut. Untuk Kerajaan Majapahit, kita mengenal nama seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, Raden Wijaya, Tri Buana Tungga Dewa. Kerajaan Mataram, Sultan Agungnya. Kerajaan Singasari, tokoh Ken Arok dan Ken Dedesnya. Kerajaan Minangkabau, Aditya Warman dan seterusnya. Bagaimana dengan Sriwijaya?

Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Sungai Tatang Palembang adalah prasasti penting yang sangat menentukan titik awal Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Prasasti ini menggambarkan perjalanan seorang pembesar Minanga Tamwan pada bulan terang hari ke-11 tahun 605 Saka yang membawa bala tentara dengan perahu dua laksa dan berjalan darat sebanyak 1312 orang menuju ke Mukha Upang (Palembang) untuk mendirikan wanua (kota/negeri). Waktu perjalanan ini kemudian diabadikan sebagai hari jadi Kota Palembang.

Tokoh kuno prasasti ini adalah “Dapunta Hyang” bergelar Sri Jaya Naga. Beliau inilah dipercaya pendiri Kerajaan Sriwijaya. Melihat jumlah tentara yang dibawa dengan menggunakan perahu dan jalan darat, menunjukkan Dapunta Hyang dari negeri yang kuat dengan teknologi transportasi memadai pada masa itu. Pada masa pemerintahan Dapunta Hyang, Kerajaan Sriwijaya berkembang sampai ke Bangka, Jambi, Lampung, dan Jawa Tengah. Hal ini terbukti dari ditemukannya prasasti di wilayah tersebut yang menggambarkan kerajaan Sriwijaya.

Di Kota Palembang sendiri, kebesaran Sriwijaya digambarkan dalam dua prasasti lain, prasasti Telaga Batu dan Talang Tuo. Prasasti Telaga Batu berisi imbauan agar para warga kerajaan dari berbagai lapisan, untuk patuh kepada Kedatuan Sriwijaya, dengan ancaman akan dimakan sumpah dan kutukan. Sedangkan prasasti Talang Tuo digambarkan kerajaan Sriwijaya yang memulai pembangunan sebuah taman kerajaan yang besar dan indah dengan pohon-pohon yang dapat dimakan buahnya serta dilengkapi tebat dan telaga untuk kesejahteraan warga.

Sriwijaya periode II tokoh berikutnya adalah “Bala Putra Dewa” yang dipercaya oleh para ahli sejarah sebagai pendiri kerajaan Sriwijaya ke II dengan nama San-fo-tsi atau Swarna Bumi atau Swarna Dwipa. Bala Putra Dewa adalah keturunan Raja Sriwijaya dari dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa Tengah pada abad ke-9 Masehi. Dalam prasasti Siwa Graha diceritakan Bala Putra Dewa menyingkir dari Jawa Tengah ke Sumatera setelah berselisih paham dengan Raja Djitiningrat. Kedatangan Bala Putra Dewa ke Palembang telah membuat Sriwijaya kembali bersinar setelah hampir dua abad mengalami kemunduran. Hal ini terbukti dari kronik Cina yang mencatat sejak mulai berkuasanya Bala Putra Dewa, maka utusan kerajaan Sriwijaya yang datang ke negeri Cina frekwensinya meningkat.

Dalam prasasti Nalanda yang dikeluarkan oleh Raja Banggala (India) Dewa Pala, bahwa Raja Bala Putra Dewa cucu Raja Syailendra dari Yava Bhumi (Jawa) yang saat ini menjadi raja di Swarna Dwipa (Sumatera) memerintahkan untuk membangun sebuah biara di Nalanda. Raja Bala Putra Dewa juga dipercaya sebagai pendiri candi Borobudur di Jawa Tengah. Karena itu, Bala Putra Dewa diabadikan menjadi nama jalan raya utama menuju candi Borobudur. Di Palembang diabadikan sebagai nama museum di kawasan Km 5 dan nama jalan kecil di depan museum tersebut.

Tokoh ketiga yang patut dikenang adalah “Parameswara” yang merupakan raja terakhir kerajaan Sriwijaya Palembang. Dalam sejarah Melayu, Parameswara di kenal dengan nama Sang Nila Utama bergelar Sritri Buana. Parameswara adalah pendiri Temasik atau Singapura sekarang. Ia dianggap sebagai pendiri kerajaan Malaka yang menurunkan raja-raja Melayu yang berkuasa sampai saat ini di Malaysia dan Brunai Darussalam.

Parameswara dilahirkan di Palembang pada tahun 1334 dan menjadi raja Sriwijaya menggantikan Ma-na-ha-pau-lin-pang (Maha raja Palembang) pada tahun 1390, kemudian pada tahun 1397, beliau meninggalkan Palembang karena saat itu terjadi serangan terhadap Kerajaan Sriwijaya dari Majapahit. Walaupun hanya tujuh tahun berkuasa di Sriwijaya, Parameswara telah berjaya di negeri lain. Ia dianggap sebagai pendiri kerajaan Melayu yang identik dengan kerajaan Islam dan kemudian berkembang menjadi beberapa kerajaan Melayu di Nusantara seperti Malaka, Brunai, Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Minang Kabau, Melayu Jambi, Kesultanan Palembang, Melayu Pontianak, Melayu Banjar dan Melayu Bugis.

Di zaman modern imperium, Melayu berkembang menjadi empat negara di Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. Dapunta Hyang, Bala Putra Dewa, dan Parameswara adalah pahlawan yang membesarkan Kerajaan Sriwijaya serta yang menjadikan Palembang terkenal seantero Nusantara

Sumber: indomedia.com

http://lemabang.wordpress.com/2008/10/04/mengenang-nama-besar-sriwijaya/