Masjid Agung, landmark Kota Palembang, sudah berdiri dua abad lalu dijantung Kota Palembang. Hingga beberapa tahun lalu, kepadatan jantung kota, termasuk disekitar kawasan masjid, sangat terasa. Pemukiman tua melingkari masjid. Rumah-rumah panggung terbuat dari papan, tetapi kokoh dan tetap tegak, meski dimakan usia. Pemukiman itu tumbuh sepanjang usia masjid yang dibangun Sultan Mahmud Badaruddin jayo Wikramo pada tahun 1733 hingga tahun 1748.
Kini, pemandangan lingkungan tua itu sudah berubah. Masjid Agung diperluas, dipercantik, dan diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri, Juni 2003 lalu. Jalan lingkar Masjid Agung diperluas, tentu saja puluhan rumah panggung tersingkir dari kwasan itu. Di ujung jalan lingkar barat Masjid terpasang papan nama Jalan Faqih Jalaludin. Bersambung kesisi utara masjid, terdapat ruas jalan pendek, kurang dari 100 meter, yang beberapa bulan lalu di namai Jalan Tjek Agus Kiemas, nama mendiang ayah Taufik Kiemas suami Presiden Megawati.
Meskipun papan nama jalan terpancang jelas, ornag-orang, terutama orang tua di Ibukota Palembang, masih menyebut jalan lingkar masjid itu sebagai Jalan Guru-Guru. Hingga tahun 1908-an, kawasan ini masih dikenal sebagai
"Guguk Pengulon" yang berarti pemukiman para penghulu atau ahli agama. "Jalan ini dulu dikhususkan bagi pemukiman para guru atau ulama yang mengajarkan agama," ujar Kms Andi Syaifudin (32), pemuda yang lahir dan besar di Jalan Guru-Guru menuturkan asal sebutan jalan itu.
Budayawan Palembang, Djohan Hanafiah menggambarkan, pada masa lalu Jalan Guru-Guru atau Guguk Pengulon, merupakan hunian sejumlah keluarga besar yang membaktikan diri mereka untuk agama secara turun-temurun. Kegiatan pengajaran ilmu agama pada masa Kesultanan Palembang, abad ke-17, abad ke-19, berjalan aktif. Para muridnya datang dari berbagai daerah di pulau Sumatera. Mereka tinggal bersama sang guru di Guguk Pengulon. Tak mengherankan, kebanyakan rumah panggung di kawasan itu memiliki semacam ruang pertemuan yang cukup luas.
Ilmu yang diajarkan secara turun-temurun juga diwariskan sebagai peninggalan naskah-naskah kuno pada lingkungan keluarga di kawasan ini. Kms Andi Syarifudin misalnya, ia memiliki 65 naskah tulisan tangan dari abad ke-18 dan ke-19. naskah-naskah yang diwarisi Andi iniadalah memuat ajaran tasawuf, tafsir kitab, maupun karya-karya sastra, antara lain Syair Perang Menteng.
Andi mengungkapkan kesedihannya ketika sejumlah naskah kuno dipemukiman tua itu hangus terbakar bersama belasan rumah disebelah utara masjid, sebelum renovasi Masjid Agung di mulai pada tahun 1999. Pria tamatan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah, Palembang, ini bukan saja menyimpan warisan naskah. Ia juga berusaha berusaha mempelajari naskah-naskah berbahasa Arab dan Arab Melayu.
Untuk mendukung pemahamannya atas naskah-naskah kuno itu, Andi juga berusaha mempelajari buku-buku yang yang menjelaskan kontek sejarah. Menyusun perpustakaan menjadi salah satu kegemarannya. Meskipun mencintai buku, perawatan yang dapat dilakukan Andi atas naskah-naskah kuno itu sangat terbatas. Sejumla naskah yang disimpannya semakin rapuh.
Andi adalah potret pemuda yang perduli pada warisan dan sejarah. Naskah-naskah kuno yang ia miliki mungkin menjadi tak terbaca. Namun, penghargaan atas keluhuran tata nilai dan keunggulan karya sastra yang tersimpan dalam naskah itu, tak akan hilang dari benaknya.
KOMPAS