Senin, 31 Desember 2012

Hotel Swarna Dwipa

Hotel Swarna Dwipa
Hotel Swarna Dwipa merupakan pilihan terbaik bagi mereka yang menginginkan kenyamanan dan layanan terbaik di pusat pemerintahan kota Palembang dengan staff yang sopan dan terlatih. Berjarak tempuh sekitar 25 menit dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan hanya 5 menit dari pusat perbelanjaan di kota Palembang.

Memiliki 68 kamar tamu dengan pilihan kamar tipe Standart, Superior, Deluxe, Junior Suite dan Suite Rooms, akan memberikan kenyamanan dan suasana santai selama anda menginap.

FASILITAS
• International Direct Dial Call (IDD)
• AC in all guest rooms, private bathroom with hot and old water
• Channels of parabola anda video programmes
• 24 hours room service
• Laundry & valet service
• News stand and drugstore
• Restaurant with Indonesian, and european menu
• Swimming pool and fitness center
• Banquet room for private or conference and meeting rooms
• Karaoke & Cafe
• Ample parking space
• Beauty parlour
• Business Centre
• Automatic teller machine (ATM)
• Internet online with WIFI

TARIF


Tarif tersebut sudah termasuk :

• Sarapan pagi
• Pajak 21% dan service charge

Hotel Swarna Dwipa
Jalan Tasik No.2 Palembang 30136
Telepon (0711) 313322 (hunting)
Fax. (0711) 362992
Email: info@hotelswarnadwipa.com
Website: http://www.hotelswarnadwipa.com

Hotel Swarna Dwipa Hotel Swarna Dwipa

Legenda Dewi Kwan Im

Dewi Kwan Im Seribu Tangan

Legenda Dewi Kwan Im

Jauh sebelum diperkenalkannya agama Buddha pada akhir Dinasti Han (tahun 25 - 228), Koan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutanPek Ie Tai Su yaitu Dewi berjubah putih yang welas asih. Kemudian Beliau diketahui sebagai perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.

Dalam perwujudannya sebagai pria, Beliau disebut Koan Sie Im Pho Sat. Didalam Sutra Suddharma Pundarika Sutra (Biauw Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 perwujudan atau penjelmaan Koan Im Pho Sat. Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Tay Pi Ciu) ada 84 rupa yang berbeda sebagai pengejawantahan Koan Im Pho Sat sebagai Bodhisatva yang mempunyai kekuasaan besar. Altar utama di kuil Pho Jee Sie (Pho To San) di persembahkan kepada Koan Im Pho Sat dengan perwujudannya sebagai Buddha Vairocana, dan di sisi kiri/kanan berderet masing ke-16 perujudan Beliau lainnya.

Dikenal secara luas sebagai Dewi Welas Asih, yang dipuja tidak hanya terbatas di kalangan Budhis saja, tetapi juga di kalangan Tao dan semua lapisan masyarakat awam di pelbagai negara terutama di benua Asia.

Perwujudan Beliau di altar utama Kim Tek Ie adalah sebagai King Cee Koan Im (Koan Im membawa Sutra memberi pelajaran Buddha Dharma kepada umat manusia).

Disamping itu terdapat wujud Koan Im Pho Sat dalam Chien Chiu Koan Im (Koan Im Bertangan Seribu) sebagai perwujudan Beliau yang selalu bersedia mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umat-Nya. Memang pada awalnya pada tahun 1650, kelenteng ini didirikan oleh Luitnant Tiongkoa Kwee Hoen untuk Koan Im Pho Sat dengan nama Koan Im Teng (Paviliun Koan Im).

Pendampingnya yang setia adalah Kim Tong (Jejaka Emas) dan Giok Li(Gadis Kumala), atau yang biasa disebut Sian Cay & Liong Nio. Sebutan kepada Beliau yang lengkap adalah Tay Cu Tay Pi, Kiu Kho Kiu Lan, Kong Tay Ling Kam, Koan Im Sie Im Pho Sat.

Chien Chiu Koan Im (Koan Im Bertangan Seribu) atau kadang disebut juga Chien Shou Chien Yen Koan Im (Koan Im Bertangan Seribu & Bermata Seribu) merupakan salah satu bentuk Koan Im yang terkenal. Masing-masing tangan menggenggam benda pusaka keagamaan, antara lain bunga dan senjata penakluk iblis.

Dalam legenda dikisahkan, pada waktu beliau sedang dalam meditasi dan merenungkan tugasnya untuk menyelamatkan umat manusia, kepalanya tiba-tiba terbelah menjadi seribu keping, tepat pada saat beliau menyadari betapa berat dan besarnya hal yang dilakukan itu. Buddha Amitabha sebagai pembimbingnya cepat datang untuk menolong dan menghidupkan kembali Koan Im, serta memberikan kesaktian untuk berubah menjadi bentuk kepala seribu, mata seribu dan tangan seribu.

Di Kelenteng Pu Ning Si, Cheng De, Tiongkok Utara, yang terletak di dalam komplek Istana Kekaisaran untuk persinggahan musim panas, terdapat sebuah pratima Koan Im bertangan seribu yang terbuat dari pahatan kayu, yang merupakan pratima kayu terbesar di dunia. Patung ini tingginya 22 meter dan dibuat pada tahun 1755.

Mengenal Dewi Kwan Im

Mengenal Dewi Kwan Im

Oleh : Florencia Marcelina Ramadhona

Setiap perayaan Tahun Baru Imlek, puluhan ribu warga Tionghoa di Palembang merayakannya di klenteng Dewi Kwan Im, 10 Ulu, Palembang. Lalu, tahukah Anda siapa Dewi Kwan Im itu?

Kwan Im adalah penjelmaan Buddha Welas Asih di Asia Timur. Kwan Im sendiri adalah dialek Hokkian yang dipergunakan mayoritas komunitas Tionghoa di Indonesia. Nama lengkap dari Kwan Im adalah Kwan She Im Phosat yang merupakan terjemahan dari nama aslinya dalam bahasa Sanskrit, Avalokite?vara.

Dalam bahasa Jepang, Kwan Im disebut Kannon’ atau secara resmi Kanzeon. Dalam bahasa Korea disebut Gwan-eum atau Gwanse-eum, dan dalam bahasa Vietnam Quán Âm atau Quan Th? Âm B? Tát.

Avalokitesvara sendiri asalnya digambarkan berwujud laki-laki di India, begitu pula pada masa menjelang dan selama Dinasti Tang (tahun 618-907). Namun pada awal Dinasti Sung (960-1279), berkisar pada abad ke 11, beberapa dari pengikut melihatnya sebagai sosok wanita yang kemudian dilukis oleh sejumlah seniman. Perwujudan Kwan Im sebagai sosok wanita lebih jelas pada masa Dinasti Yuan (1206-1368). Sejak masa Dinasti Ming, atau berkisar pada abad ke 15, Kwan Im secara menyeluruh dikenal sebagai wanita.

Kwan Im pertama diperkenalkan ke Cina pada abad pertama SM, catat Wikipedia, bersamaan dengan masuknya agama Buddha. Pada abad ke-7, Kwan Im mulai dikenal di Korea dan Jepang karena pengaruh Dinasti Tang. Pada masa yang sama, Tibet juga mulai mengenal Kwan Im dan menyebutnya dengan nama Chenrezig. Dalai Lama sering dianggap sebagai reinkarnasi dari Kwan Im di dunia.

Jauh sebelum masuknya agama Buddha menjelang akhir Dinasti Han, Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi Berbaju Putih Yang Welas Asih (“Dewi Welas Asih”). Di kemudian hari, Beliau identik dengan perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.

Pengertian Avalokitesvara Bodhisatva dalam bahasa Sansekerta adalah:

• “Avalokita” (Kwan / Guan / Kwan Si / Guan Shi) yang bermakna Melihat ke Bawah atau Mendengarkan ke Bawah (“Bawah” disini bermakna ke dunia, yang merupakan suatu alam (Sansekerta:lokita)).

• Kata “Isvara” (Im / Yin), berarti suara (suara jeritan mahluk atas penderitaan yang mereka alami).

Kwan Im sebagai seorang Bodhisatva yang melambangkan kewelas-asihan dan penyayang. Di negara Jepang, Kwan Im Pho Sat terkenal dengan nama Dewi Kanon. Dalam perwujudannya sebagai pria, beliau disebut Kwan Sie Im Pho Sat. Dalam Sutra Suddharma Pundarika Sutra (Biauw Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 (tiga puluh) penjelmaan Kwan Im Pho Sat. Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Tay Pi Ciu / Ta Pei Cou / Ta Pei Shen Cou) ada 84 (delapan puluh empat) perwujudan Kwan Im Pho Sat sebagai simbol dari Bodhisattva yang mempunyai kekuasaan besar.

Altar utama di Kuil Pho Jee Sie (Pho To San) di persembahkan kepada Kwan Im Pho Sat dengan perwujudan sebagai “Buddha Vairocana”, dan di sisi kiri atau kanan berjajar 16 (enam belas) perwujudan lainnya. Perwujudan Beliau di altar utama Kim Tek Ie*), salah satu Klenteng tertua di Indonesia adalah King Cee Koan Im (Koan Im Membawa Sutra Memberi Pelajaran Buddha Dharma Kepada Umat Manusia). Disamping itu, terdapat pula wujud Kwan Im Pho Sat dalam Chien Chiu Kwan Im / Jeng Jiu Kwan Im / Qian Shou Guan Yin. (Kwan Im Seribu Lengan / Tangan) sebagai perwujudan Beliau yang selalu bersedia mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umatnya.

Beberapa Legenda Dewi Kwan Im


Mengenal Dewi Kwan Im

Terdapat beberapa legenda lainnya terkait tentang asal-usul Dewi Kwan Im. Dalam kitab Hong Sin Yan Gi / Hong Sin Phang (“Penganugerahan Dewa”) disebutkan bahwa sebelum ia dikenal dengan sebagai Dewi Kwan Im, ia dikenal dengan nama Chu Hang. Ia merupakan salah satu murid dari Cap Ji Bun Jin (12 Murid Cian Kauw Yang Sakti).

Selain itu, menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im dilahirkan pada zaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 SM terkait dengan legenda Puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao Cuang Penguasa Negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou di abad III SM.

Disebutkan bahwa Raja Miao Zhuang, tulis Wikipedia, sangat mendambakan seorang anak lelaki, tapi yang dimilikinya hanyalah 3 (tiga) orang puteri. Puteri tertua bernama Miao Shu (Biao Yuan), yang kedua bernama Miao Yin (Biao In) dan yang bungsu bernama Miao Shan (Biao Shan). Setelah ketiga puteri tersebut menginjak dewasa, Raja mencarikan jodoh bagi mereka. Puteri pertama memilih jodoh seorang pejabat sipil, yang kedua memilih seorang jendral perang sedangkan Puteri Miao Shan tidak berniat untuk menikah. Ia malah meninggalkan istana dan memilih menjadi Bhikuni di Klenteng Bai Que Shi (Tay Hiang Shan).

Berbagai cara diusahakan oleh Raja Miao Zhuang agar puterinya mau kembali dan menikah, namun Puteri Miao Shan tetap bersiteguh dalam pendirianNya. Pada suatu ketika, Raja Miao Zhuang habis kesabarannya dan memerintahkan para prajurit untuk menangkap dan menghukum mati sang puteri.

Setelah kematianNya, arwah Puteri Miao Shan mengelilingi neraka. Karena melihat penderitaan makhluk-makhluk yang ada di neraka, Puteri Miao Shan berdoa dengan tulus agar mereka berbahagia.

Secara ajaib, doa yang diucapkan dengan penuh welas asih, tulus dan suci mengubah suasana neraka menjadi seperti surga. Penguasa Akherat, Yan Luo Wang, menjadi bingung sekali. Akhirnya arwah Puteri Miao Shan diperintahkan untuk kembali ke badan kasarNya. Begitu bangkit dari kematianNya, Buddha Amitabha muncul di hadapan Puteri Miao Shan dan memberikan Buah Persik Dewa. Akibat makan buah tersebut, sang Puteri tidak lagi mengalami rasa lapar, ke-tuaan dan kematian. Buddha Amitabha lalu menganjurkan Puteri Miao Shan agar berlatih kesempurnaan di gunung Pu Tuo, dan Puteri Miao Shan-pun pergi ke gunung Pu Tuo dengan diantar seekor harimau jelmaan dari Dewa Bumi.

Sembilan tahun berlalu, suatu ketika Raja Miao Zhuang menderita sakit parah. Berbagai tabib termasyur dan obat telah dicoba, namun semuanya gagal. Puteri Miao Shan yang mendengar kabar tersebut, lalu menyamar menjadi seorang Pendeta tua dan datang menjenguk. Namun terlambat, sang Raja telah wafat. Dengan kesaktianNya, Puteri Miao Shan melihat bahwa arwah ayahNya dibawa ke neraka, dan mengalami siksaan yang hebat. Karena rasa bhaktiNya yang tinggi, Puteri Miao Shan pergi ke neraka untuk menolong.

Pada saat akan menolong ayahNya untuk melewati gerbang dunia akherat, Puteri Miao Shan dan ayahNya diserbu setan-setan kelaparan. Agar mereka dapat melewati setan-setan kelaparan itu, Puteri Miao Shan memotong tangan untuk dijadikan santapan setan-setan kelaparan. Setelah hidup kembali, Raja Miao Zhuang menyadari bahwa bhakti ketiga putrinya sangat luar biasa. Akhirnya sang Raja menjadi sadar dan mengundurkan diri dari pemerintahan serta bersama-sama dengan keluarganya pergi ke gunung Xiang Shan untuk bertobat dan mengikuti jalan Buddha.

Rakyat yang mendengar bhakti Puteri Miao Shan hingga rela mengorbankan tanganNya menjadi sangat terharu. Berbondong-bondong mereka membuat tangan palsu untuk Puteri Miao Shan. Buddha O Mi To Hud yang melihat ketulusan rakyat, merangkum semua tangan palsu tersebut dan mengubahNya menjadi suatu bentuk kesaktian serta memberikannya kepada Puteri Miao Shan. Lalu Ji Lay Hud memberiNya gelar Qian Shou Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Phu Sa, yang artinya Bodhisatva Kwan Im Penolong Kesukaran Yang Bertangan Dan Bermata Seribu Yang Tiada Bandingnya. Dalam kisah lain disebutkan bahwa pada saat Kwan Im Phu Sa diganggu oleh ribuan setan, iblis dan siluman, beliau menggunakan kesaktianNya untuk melawan mereka.

Ia berubah wujud menjadi Kwan Im Bertangan dan Bermata Seribu, dimana masing-masing tangan memegang senjata Dewa yang berbeda jenis. Kisah Kwan Im Lengan Seribu ini juga memiliki versi yang berbeda, di antaranya adalah pada saat Puteri Miao Shan sedang bermeditasi dan merenungkan penderitaan umat manusia, tiba-tiba kepalanya pecah berkeping-keping.

Buddha O Mi To Hud (Amitabha) yang mengetahui hal itu segera menolong dan memberikan “Seribu Tangan dan Seribu Mata, sehingga Beliau dapat mengawasi dan memberikan pertolongan lebih banyak kepada manusia.

Dalam legenda Puteri Miao Shan, disebutkan bahwa kakak-kakak Miao Shan bertobat dan mencapai kesempurnaan, lalu mereka diangkat sebagai Pho Sat oleh Giok Hong Siang Te. Puteri Miao Shu diangkat sebagai Bun Cu Pho Sat (Wen Shu Phu Sa) dan Puteri Miao Yin sebagai Po Hian Pho Sat (Pu Xian Phu Sa). Disebutkan juga bahwa pada saat pelantikan Puteri Miao Shan menjadi Pho Sat, Puteri Miao Shan diberi 2 (dua) orang pembantu, yakni Long Ni dan Shan Cai. Konon, Long Ni diberi gelar Giok Li (Yu Ni) atau “Gadis Kumala” dan Shan Cai bergelar Kim Tong (Jin Tong) atau “Jejaka Emas”.

Pada mulanya, Long Ni adalah cucu dari Raja Naga (Liong Ong), yang diberi tugas untuk menyerahkan mutiara ajaib kepada Kwan Im, sebagai rasa terima kasih dari Liong Ong karena telah menolong puterinya. Namun ternyata Long Ni justru ingin menjadi murid Kwan Im dan mengabdi kepadaNya. Khusus untuk Shan Cai ada 2 (dua) versi legenda. Versi pertama berdasarkan legenda Puteri Miao Shan yang menceritakan bahwa Shan Cai adalah pemuda yatim piatu yang ingin belajar ajaran Buddha. Ia ditemukan oleh To Te Kong dan diserahkan kepada Kwan Im untuk dididik.

Versi lain dalam cerita Se Yu Ki (Xi You Ji) menyebutkan bahwa Shan Cai adalah putera siluman kerbau Gu Mo Ong (Niu Mo Wang) dengan Lo Sat Li (Luo Sa Ni). Nama asliNya adalah Ang Hay Jie (Hong Hai Erl) atau si Anak Merah. Karena kenakalan dan kesaktian Ang Hay Jie, Sang Kera Sakti Sun Go Kong / Sun Wu Kong meminta bantuan kepada Kwan Im Pho Sat untuk mengatasiNya.

Akhirnya Ang Hay Jie berhasil ditaklukkan oleh Kwan Im Pho sat dan diangkat menjadi muridNya dengan panggilan Shan Cai. Dalam hal ini, banyak orang yang salah mengerti dan menganggap bahwa salah 1 (satu) pengawal Kwan Im Po Sat adalah Lie Lo Cia (Li Ne Zha), yang penampilanNya memang mirip dengan Ang Hay Jie. Secara khusus terdapat perbedaan diantara keduaNya, Lie Lo Cia menggunakan senjata roda api di kakiNya, sedangkan Ang Hay Jie menggunakan semburan api dari mulutnya. Lie Lo Cia adalah anak dari Lie King dan Ang Hay Jie adalah anak dari Gu Mo Ong.

Dalam sejumlah kitab Budhisme Tiongkok klasik, disebutkan ada 33 (tiga puluh tiga) rupa perwujudan Kwan Im Pho Sat, antara lain : 1. Kwan Im Berdiri Menyeberangi Samudera; 2. Kwan Im Menyebrangi Samudera sambil Berdiri diatas Naga; 3. Kwan Im Duduk Bersila Bertangan Seribu; 4. Kwan Im Berbaju dan Berjubah Putih Bersih sambil Berdiri; 5. Kwan Im Berdiri Membawa Anak; 6. Kwan Im Berdiri diatas Batu Karang/Gelombang Samudera; 7. Kwan Im Duduk Bersila Membawa Botol Suci & Dahan Yang Liu; 8. Kwan Im Duduk Bersila dengan Seekor Burung Kakak Tua.

Selain perwujudan Beliau yang beraneka bentuk dan posisi, nama atau julukan Kwan Im (Avalokitesvara) juga bermacam-macam, ada Sahasrabhuja Avalokitesvara (Qian Shou Guan Yin), Cundi Avalokitesvara, dan lain-lain. Walaupun memiliki berbagai macam rupa, pada umumnya Kwan Im ditampilkan sebagai sosok seorang wanita cantik yang keibuan, dengan wajah penuh keanggunan .Selain itu, Kwan Im Pho Sat sering juga ditampilkan berdampingan dengan Bun Cu Pho Sat dan Po Hian Pho Sat, atau ditampilkan bertiga dengan : Tay Su Ci Pho Sat (Da Shi Zhi Phu Sa) – O Mi To Hud – Kwan Im Pho Sat.

Sumber: beritamusi.com

Sekilas Tentang Mobil "Ketek" Jeep

Oleh: A. LATIF

Membicarakan mobil Jeep kita tidak boleh mengabaikan sejarah Perang Dunia II. Kala itu, untuk menjawab tantangan perang, militer Amerika Serikat dituntut untuk menciptakan sebuah kendaraan perang pengintai yang tangguh segala medan perang.

Ada tiga perusahaan otomotif di Amerika Serikat yang merespon kebutuhan kendaraan buat perang tersebut. Yakni Bantam Car Company, Ford, dan Willys-Overland Motor Company (WOMC).

WOMC sendiri sebelumnya bernama Overland Automotive Division of Standard Wheel Company (OADSWC), berdiri pada 1908. John North Willys kemudian membeli perusahaan ini pada 1912. Alhasil, namanya pun ikut berubah.

Tapi, WOMC bangkrut semasa Depresi Ekonomi terjadi di Amerika pada 1920-an. WOMC kemudian mengalami perubahaan struktur kepemilikan perusahaan. Namanya pun berubah lagi menjadi Willys-Overland Motors, Inc, (WOMI). Perusahaan ini memproduksi mobil Willys untuk kebutuhan masyarakat sipil seperti truk (Willys Overland) dan mobil penumpang.

Bantam Car Company menjadi saingan utama WOMI dan Ford guna merancang kebutuhan militer itu secara keseluruhan. Namun, Willys tak mau ketinggalan juga dengan merancang desain bernama “Go Devil” dengan “flat-head four cylinder engine”. Ford juga memiliki ide yang tak kalah cemerlang untuk menjawab kebutuhan itu, sesuai roh yang diinginkan pemerintah Amerika Serikat untuk kepentingan militernya.

Tapi, pilihan pemerintah akhirnya jatuh pada Willys. Willys kemudian mendapat julukan baru, yakni GPW. “G” untuk government (pemerintah), “P” untuk pigmy (kecil; istilah ini sebenarnya diciptkan oleh Ford) dan “W” untuk Willys.

Soal pemberian nama “Jeep” pun sebenarnya tak lepas dari berbagai rumor. Ada cerita yang menyebutkan kata “Jeep” berasal dari ungkapan “GP”, singkatan dari “general purpose” yang berarti banyak fungsi. Cerita lain menyebutkan “Jeep” adalah bahasa slang untuk hal untuk banyak tujuan yang luar biasa. Soalnya, pada tahun 1936, salah satu karakter dalam film kartun “The Popeye” diberi nama “Eugene the Jeep”, yang diplot memiliki kehebatan yang luar biasa!

Memang, tidak semua mobil Jeep itu ikut digunakan buat perang. Sebagian mampir ke Palembang, digunakan sebagai angkutan umum, lalu diberi nama "ketek". (dari beberapa sumber)

“Mobil Ketek” Itu Masih Ada

Hingga tahun 1990-an awal, angkutan umum di Palembang masih menggunakan Jeep Willis M38 Kanvas keluaran tahun 1952. Sebagian kecil Jeep Willis keluaran tahun 1948. Menariknya, masyarakat Palembang menyebut mobil ini “ketek”.

Mengapa disebut “ketek”? Ternyata jawabannya sederhana, mobil ini mengeluarkan suara seperti perahu ketek di sungai Musi, yang mengeluarkan suara “tek, ketek, ketek”, dan lajunya juga lamban seperti perahu ketek.

Meskipun penyamaan ini tidaklah begitu tepat, tapi masyarakat Palembang keburu menyebutnya “mobil ketek” hingga saat ini.

Tapi, sejak maraknya produksi mobil angkutan umum sejak awal tahun 1990-an, serta perawatan Jeep Willis yang sudah sulit dilakukan lantaran onderdilnya sulit didapatkan lagi, kendaraan ini pun hilang dari peredaran.

Angkutan umum yang masih menggunakan Jeep Willis terakhir kalinya berlangsung di Ampera-3-4 Ulu, Sekojo-Lemabang, dan Ampera-Tanggatakat. Setelah reformasi 1998, semua kendaraan itu raib seperti ditelan bumi.

Stir mobil ketek ini, ada yang di kanan dan ada yang di kiri. Mesinnya berjenis 4 WD, dan memiliki 4 gigi, termasuk gigi mundur.

Penggunaan bensin sangat boros. ”Tujuh kilometer perjalanan, mobil ini bisa menghabiskan 1 liter bensin,” kata Sangkut (60), warga Seberang Ulu I Palembang, yang masih mengoleksi Jeep Willis M38 Kanvas keluaran tahun 1952.

Dulunya, Sangkut memiliki puluhan Jeep Willis. Tapi semuanya sudah dijual, termasuk yang sudah dikoleksi Hotel Aryaduta.

Kendala yang dihadapi Sangkut sekarang ini adalah pengurusan pajak mobil yang menurutnya sangat susah diurus, lantaran nomor mesin yang sudah hilang karena berkarat, sehingga nomor mesin hilang. ”Pajaknya bisa diurus tetapi harus mengeluarkan biaya yang cukup besar sadangkan mobil yang ada dibengkel saya ini ada 6 mobil,” kata Sangkut.

Sumber: BERITA MUSI -- 11.11.2009