Selasa, 04 Desember 2012

Legenda Si Pahit Lidah

Legenda Si Pahit Lidah


Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.

Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.

Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.

Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.

Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.

Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.

Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.

Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak.

Bukti Batu Gajah Di Pasemah akibat "Kutukan" Si Pahit Lidah

Legenda Si Pahit LidahNurhadi Rangkuti meraba-raba batu gajah sambil menjelaskan torehan gelang kaki pada wujud tokoh manusia yang memegang gajah, yang merupakan benda koleksi Museum Balaputradewa di Palembang.

Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.

Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.

Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.

Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.

Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.

"Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci," ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.

Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.

"Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia."

Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.

Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.

"Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan…," tulis arkeolog Bambang Budi Utomo.

Kompas

Pengaruh Kerajaan Sriwijaya Membawa Budaya Melayu Ke Nusantara dan Asia Tenggara

Oleh Zaki Setiawan

Kerajaan Sriwijaya berpusat di daerah yang sekarang dikenal sebagai Palembang di Sumatra. Pengaruhnya amat besar meliputi Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Filipina. Kerajaan yang menjadi cikal bakal Melayu tua ini menjadi sponsor utama penyebaran budaya dan bahasa melayu. Walaupun tidak mengklim sebagai sumber dari budaya melayu seperti di Semenanjung Melayu, tetapi kemelayuan kerajaan Sriwijaya tidak dapat dtolak. Bahkan peran Kerajaan Sriwijaya dalam memperluas budaya melayu jauh lebih besar dari pada kerajaan-kerajaan yang mengklim sebagai kerajaan melayu di seperti Kerajaan Melayu di semenanjung melayu dan Kerajaan Kedah.

Kekuasaan Sriwijaya merosot pada abad ke-11. Kerajaan Sriwijaya mulai ditaklukkan oleh berbagai kerajaan Jawa, pertama oleh kerajaan Singosari (Singhasari) dan akhirnya oleh kerajaan Majapahit. Malangnya, sejarah Asia Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan laporan dari orang luar, prasasti dan penemuan arkeologi, artifak seperti patung dan lukisan, dan hikayat.

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan Melaka.

Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat pembeljaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah Majapahit.

Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I-tsing. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat.

Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa, Kerajaan Minanga takluk di bawah pemerintahan Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan.

Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka, Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan aksi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah memperluas pengaruh politik, sosial, budaya dan ekonomi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Vietnam Selatan. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Minanga merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini, memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11.

Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan.

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat Melayu pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.

Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang, keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan dan Malaysia yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya melayu Sriwijaya, walaupun pada akhirnya Malaysia merasa lebih malayu dari pada Indonesia yang sebenannya tempat lahirnya budaya melayu itu sendiri.

Ini bukanlah keserakahan bangsa Malaysia karena memang mereka adalah bangsa yang menghargai jati dirinya, cuma kitanya saja yang memang tidak menghargai budaya dan jati diri kita sendiri. Tengok saja perbedaan sinentron atau film Indonesia dengan sinentron dan film Malaysia yang lebih akrab dengan budaya melayu. Apalagi jika kita menonton film anak-anak Upin Ipin yang sangat melayu, sedangkan sinetron Indonesia lebih kebarat-baratan.

Melihat Palembang dari Naskah Kuno

Melihat Palembang dari Naskah KunoHANIFA (38), seorang warga asli Palembang, sulit membayangkan bagaimana kisah pewayangan yang selama ini dianggapnya hanya "milik" masyarakat Pulau Jawa. Kisah pewayangan ternyata pernah berkembang di Palembang yang menjadi ibukota Sumatera Selatan itu. Pewayangan di Palembang bukan sekedar ada, tetapi berkembang. Namun cerita pewayangan itu mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan budaya.

Modifikasi itu misalnya, membuat tokoh-tokoh punakawan naik pangkat menjadi golongan bangsawa. Gareng misalnya, disebut sebagai Ki Agus Gareng, Ki Agus merupakan salah satu sebutan kebangsawanan pada masa Kesultanan Pelembang Darussalam. Selain pewayangan, cerita-cerita rakyat yang sebelumnya banyak berkembang di Pulau Jawa, juga dikisahkan di Palembang dengan modifikasi budaya setempat, misalnya kisah Raden Ing Kertapati atau Ande-Ande Lumut.

Cerita-cerita yang ditemukan dalam penelitian Yayasan Naskah Nusantara bekerjasama dengan Tokyo University of Foraign Studies, Agustus tahun lalu, itu menunjukan keterkaitan Palembang dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Kisah-kisah itu ditulis dalam naskah yang berasal dari abad ke-19, dengan tulisan Arab Melayu.

Sejarah Kesultanan Palembang bermula dari kemelut politik yang terjadi di Kesultanan Demak sesudah kematian Tranggana, raja Demak setelah Raden Fatah, serta pemindahan pusat Kesultanan di Pajang oleh Prabu Adiwijaya. Kelompok bangsawan yang dikalahkan dalam perseteruan itu, antara lain adalah Ki Gede Ing Suro bersama para pengikutnya menyingkir dan mendirikan pusat kekuasaan baru di Palembang. Kesultanan Palembang ini didirikan pada abad ke-16.

Budayawan Sumatera Selatan, Djohan Hanafiah menegaskan, para bangsawan Jawa yang berkeraton di Palembang pada akhirnya beradaptasi dengan budaya Melayu yang sudah tumbuh di daerah ini. Palembang juga merupakan kawasan kosmopolitan, dengan percampuran budaya berbagai bangsa yang datang seiring arus perdagangan. Karakter kosmopolitan ini tentu tak lepas dari latar sejarah Palembang pada masa Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan bahari ini berpengaruh luas di nusantara mulai abad VII hingga XI Masehi pergaulan antar bangsa dan akulturasi budaya membentuk karakter daerah ini.

Bertepatan dengan 16 Juni lalu, hari jadi Ke 1320 tahun Palembang dirayakan. Hari jadi itu ditetapkan pemerintah kota, berdasarkan prasasti kedukan Bukit yang menandai berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini berangka 682 Masehi, tetapi kelahiran Palembang dihitung lebih muda. Artinya, sejarah ibukota Sumatera Selatan ini lebih panjang dari perjalanan Kota Baghdad di Iran yang didirikan pada tahun 762, lebih tua dari Kyoto Jepang yang didirikan tahun 794, apalagi yang dibandingkan dengan Jakarta yang berdiri tahun 1527. Namun, rasa memiliki sejarah panjang, tidak mudah dilihat dalam tata nilai sekarang ini.

Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam yang jauh lebih muda dari masa Sriwijaya, meninggalkan jejak tak terputus dengan keberadaan Palembang masa kini. Namun, apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan warisan budaya Kesultanan ini terkesan memprihatinkan. Naskah yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam misalnya, antara lain ditemukan disimpan saja dalam rak dikamar mandi.

Karya penulis dengan bahasa dan gaya penulisan tertentu mewakili suatu masa, Substansi yang dipaparkan menyuguhkan wacana yang berkembang pada masa itu. Oleh karena itu, penemuan naskah berperan penting dalam kegiatan apresiasi kebudayaan kesejarahan. penelitian awal yang digelar Yayasan Naskah Nusantara bekerjasama dengan University of Foraign Studies di Palembang, Agustus lalu. Menemukan bukti produktivitas sastra Melayu di daerah ini pada masa Kesultanan. "Dari penelitian awal, sudah terlihat bahwa kegiatan penulisan naskah di Palembang pada masa lalu ternyata sangat aktif dan menonjol," ujar Dr. Achadiati Ikram, pakar filologi Universitas Indonesia (UI), yang bergabung dalam tim peneliti tersebut.

Selama sepekan pendataan, tim peneliti ini mencatat sekitar 230 naskah ditemukan pada 15 warga kota Palembang. Naskah-naskah tersebut berasal dari abad ke-18 dan ke-19. "Kami yakin masih banyak sekali yang tersebar dikalangan masyarakat dan belum tersentuh," ujar Dr. Titik Pudjiastuti, Staf Pengajar Program Pascasarjana UI, yang bergabung dalam timini

Kini, temuan dalam penelitian itu sedang disusun menjadi katalog yang akan dilengkapi deskripsi naskah. Diskripsi diperoleh dari pembacaan masing-masing cetakan naskah yang di potret. "Katalog ini akan diterbitkan oleh Tokyo University of Foreign Studies," jelas Titik.

Pendataan naskah-naskah kuno di Palembang secara komprehensif belum dilakukan. Katalog pertama yang disusun bukan akan diterbitkan di Indonesia. Hal ini menunjukan, betapa naskah-naskah kuno yang menggambarkan kekayaan intelektual pada masa itu belum banyak diterjemahkan, dimanfaatkan sebagai sumber penggalian sejarah. "Jika mau melihat sejarah, kita mesti pergi ke Belanda. Padahal, itu merupakan secondary sources yang sangat mungkin disusun dengan sudut pandang berbeda. Catatan pada naskah-naskah inilah primary sources yang selama ini justru kita abaikan," tutur doktor filologi ini bernada prihatin.

Kekayaan ragam muatan juga sangat mendukung pengembangan berbagai kajian lain, melalui naskah-naskah kuno di Palembang antara lain merupakan kitab keagamaan, ajaran tasawuf dengan beberapa diantaranya menunjukkan aliran yang berkembang pada masa itu, hingga hikayat dan syair. silsilah, surat-surat, hingga catatan perjalanan juga ditemukan. Titiek mencontohkan, sebuah akte pernikah yang ditemukan misalnya, dapat menampilkan "potret" salah satu perjanjian sosial yang dijalankan pada masa itu, sekaligus menjadi sumber sejarah hukum.

Penulisan naskah dapat dipandang sebagai salah satu penuangan budaya "berkelas" paling tinggi pada masa lalu. Djahan Hanafiah, Sejarawan Sumatera Selatan, menuturkan, penulisan naskah menuntut kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi, dan waktu luang. "Pada masa itu, golongan masyarakat dengan intelektualitasi yang cukup, berkemampuan memadai, serta dapat mengalokasi waktuuntuk mengapresiasi tulisan sastra atau keagamaan, umumnya adalah para bangsawan," ujar Djohan.

Budayawan yang menulis sejumlah buku sejarah lokal ini menyakini, Sultan Palembang berperan besar dalam pengembangan budaya penulisan di Sumatera Selatan. Kegiatan penulisan mencapai puncaknya pada masa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang diyakini Djohan sebagai pemimpin masa keemasan Kesultanan Palembang.

Mujib Ali, peneliti pada Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang pernah mendalami penulisan naskah kuno di Palembang, menuturkan, Sultan Mahmud Badaruddin II memang memiliki perpustakaan yang di duga terlengkap di Palembang masa itu. Puluhan naskah yang ditemukan Mujib memang ditandai sebagai milik Sultan Mahmud Badaruddin II. Sayangnya berbagai sumber sejarah menyebutkan terjadi pembakaran tempat penyimpanan koleksi naskah pada saat Kesultanan dijatuhkan Belanda pada tahun 1824. Sebagian naskah yang tersisa sempat dibawa oleh Belanda, sebagian lain justru dibakar oleh keluarga Sultan untuk menghindari pertentangan antar bangsawan.

Akan tetapi, peninggalan naskah-naskah yang tersisa hingga saat ini, masih menggambarkan tradisi penulisan yang hidup dalam masyarakat pada masa itu. Mujib menjelaskan, sebelum cetakan batu ditemukan, reproduksi naskah dilakukan dengan menyalin ulang dalam tulisan tangan. "Ditemukan pula penyalinan naskah-naskah yang belum selesai," ujar Mujib yang meneliti naskah-naskah kuno Palembang pada kurun 1996-2001.

Penyalinan naskah yang dianggap manarik dilakukan dengan meminjam dari pemilik terdahulu, dengan kontrak waktu dan tarif tertentu. Bahkan ditemukan indikasi keahlian spesialisasi pada orang-orang tertentu dalam penulisan atau penyalinan naskah. "Ada orang-orang tertentu dengan spesialisasi penulisan silsilah, misalnya. Ada pula standar tertentu yang harus dipenuhi seorang penyalin kitab keagamaan yang berbahasa Arab," jelas Mujib.

Kegiatan "perdagangan" semacam sanggar penulis dengan spesialisasi tertentu, menunjukan kegairahan penulisan di Palembang pada masa Kesultanan. Sementara itu, koleksi naskah juga memberikan prestise tersendiri bagi pemiliknya. Akan tetapi, belum ditemukan manifestasi kegairahanpenulisan seperti itu dalam kegiatan masyarakat masa kini. "Ibaratnya, kegairahan penulisan ini tidak mengalami reinkarnasi dalam kehidupan masyarakat di daerah ini," kata mujib.

Karya yang dituangkan dalam kertas tua terkesan tidak menarik perhatian kalangan luas masyarakat kota ini. Memperdulikan kelestarian situs budaya dijantung kota Palembang pun bukan pekerjaan mudah.

Namun, tidak akan ada bangsa besar. Tanpa belajar dari sejarah.

KOMPAS, Senin, 29 September 2003