Rabu, 09 Januari 2013

Sigap, Cepat, Tangkas


Latihan: Personel Satuan Brimob Polda Sumsel, kemarin menggelar latihan rutin bersama di Kelurahan Bukit Besar, Kecamatan Ilir Barat (IB) I. Ini dalam rangka pengamanan sejumlah pemilukada di Sumsel yang berlangsung sepanjang 2013

PALEMBANG - Ribuan personel dari satuan Brimob Polda Sumatera Selatan yang bermarkas di Kelurahan Bukit Besar, Kecamatan Ilir Barat I (IB I), Palembang siap mengawal pemilihan umum kepada daerah (pemilukada) di sejumlah daerah di Sumsel. Saat ini, mereka rutin melakukan latihan pengamanan.

“Setidaknya, ada 1.100 personel lebih kami siapkan untuk melakukan pengamanan pilkada di sejumlah daerah di Sumsel,” ujar Kombes Pol Drs H Adeni Mohan DP MM, Dansat Brimob Polda Sumsel di sela-sela latihan rutin, kemarin (7/1).

Selain menyiapkan kemampuan para personel, menurut Adeni, latihan juga untuk menjaga kesatuan tim dan kelengkapan peralatan yang akan digunakan, seperti senjata api dan amunisi.

Tak hanya itu, pihaknya juga menyiapkan alat transportasi, seperti barracuda dan lainnya. Khusus latihan kemarin, melibatkan ratusan personel. Terdiri dari lima tim yakni, SAR, penjinakan bom (jibom), one teror, silent operation, dan pasukan huru hara (PHH). "Kita juga sudah mengirim personel untuk pengamanan pilkada di Pagaralam dan Muara Enim."

Nah, latihan sendiri mencakup spider stlye atau yang biasa dikenal operasi secara diam-diam dengan tidak menimbulkan kegaduhan. Kemudian, latihan inter resmob dan blackhing (pendobrakan pintu secara paksa untuk menangkap target sasaran yang ada di dalam ruangan). “Kami juga melakukan monitoring pengawasan,” ulasnya.

Adeni mengaku, dari latihan one teror juga dibekali pelatihan pengamaan VIP dan latihan pertempuran jarak dekat (PJD). Latihan bersifat rutin biar anggota satuan Brimob Polda Sumsel selalu prima dan memiliki kemampuan yang andal. “Karena itu, kami terus berlatih dan berlatih. Terpenting, baik latihan ataupun pelaksanaan tugas, yang kita utamakan kesiagaan, kecepatan, dan ketangkasan,” pungkasnya. (nni/ce2)

Sumatera Ekspres, Selasa, 8 Januari 2013

Palembang Diusianya Ke 1.328



Palembang sejak dulu terkenal sebagai Venesia dari Timur. Karena banyaknya anak-anak sungai Musi yang membelah kota ini. Beragam aktivitas tergantung pada sungai Musi yang bagian hulunya berasal dari Bukit Barisan Bengkulu ini. Berbincang bersama orang-orang tua saat ini, ingatan mereka masih lekat akan adanya pasar-pasar terapung. Ketika penjual dan pembeli masih melakukan transaksi dari atas sungai.

Karena kehidupan masyarakat kala itu, berada di pinggiran sungai. Berbeda dengan kebanyakan rumah yang kini bagian depanya menghadap ke jalan, pemukiman rumah asli Palembang kala itu, cenderung menghadap ke sungai.

Masalah transportasi, masyarakat saat itu kebanyakan bergantung pada perahu. Untuk penyebrangan dari hulu ke hilir, kala itu masih digunakan kapal Mary serta kapal roda lambung yang bermuatan besar. Mengangkut penumpang yang hendak bepergian seputar kawasan Plaju, Sungai Gerong hingga Kertapati.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda cukup banyak anak-anak sungai Musi ini cukup banyak ditimbun. Seperti sungai Kapuran di jalan Merdeka serta sungai Tengkuruk yang kini hilang tak membekas akibat dijadikan jalan.

Cukup sulit dibayangkan jika terdapat sungai di jalan tersebut. Namun, jika melihat foto-foto lama situasi Palembang, di sekitaran Masjid Agung yang dulunya masuk dalam lingkungan Keraton Palembang, masyarakat terlihat mengambil air wudu’ di anak-anak Sungai Musi. Hal yang tidak dapat disaksikan lagi saat ini.

Sejarawan Palembang, Ali Mansyur yang kini menjadi pengajar di program studi sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah mengaku saat dirinya masih duduk di kelas 2 SMP tahun 1950-an, kawasan Palembang bisa dikatakan masih sangat kecil alias sempit. Seperti apa Palembang kala itu? Saat itu, angkutan umum masih menggunakan mobil ketek, layaknya kendaraan pada film si “Doel Anak Sekolahan”. Dari pasar 16 Ilir, kendaraan ini hanya berputar di kawasan Cinde.

Pasar Cinde dulu seingatnya berada tepat di tengah jalan yang kini ada tugu berupa tank baja. “Terus jalan itu baru di perpanjang ke arah Pahlawan,” jelasnya. Yang cukup megah gedung RS RK Charitas. Hanya saja, jalan Veteran serta Kapten A Riva’i saat ini belum dibangun. Tempat hiburan seingatnya hanya gedung bioskop. Berada di seputaran jalan Merdeka yang ia perkirakan kini menjadi kantor Disperindagkop Palembang.

“Namanya dulu Bioskop Oriental lalu berganti jadi Bioskop Saga. Di depan masjid Agung, tepatnya di jalan Tengkuruk pun ada satu bioskop,” ungkapnya. Perubahan signifikan ketika mulai dibangunnya Jembatan Ampera mulai tahun 1960. Sejak dioperasikan mulai tahun 1965 jembatan ini berperan besar menunjang perekonomian Palembang.

“Palembang lebih maju lagi setelah ada Pekan Olahraga Mahasiswa (POM). Jadi banyak dibangun Gedung Olahraga. Yang kini jadi Kawasan Kampus dengan nama jalanya POM XI,” ujar Mansyur.

Sejak diberlakukanya Undang Undang otonomi daerah nomor 22 tahun 1999, peran kepala daerah, dalam hal ini Walikota menurut Ali Mansyur menjadi sangat penting dalam pembangunan Palembang. Pasalnya, Walikota memiliki peran penting, penentu kebijakan Palembang. Berbeda pada masa orde baru ketika pelaksaan pembangunan, Walikota sebatas pelaksana. Sedangkan kebijakan ditentukan pusat.

Yang namanya Walikota Palembang, berdasarkan catatan sejarah, sejak tahun 1919 terdapat 20 orang. Tentu saja, Walikota Palembang saat ini, Ir Eddy Santana Putra MT yang kini berpasangan dengan H Romi Herton SH MH menorehkan catatan emas pembangunan Palembang.

Eddy Santana sendiri yang telah dua periode memimpin kota pempek ini, mencatatkan kenangan manis dengan pembangunan Plaza Benteng Kuto Besak. Dari sebuah pasar buah yang kumuh dan becek disulapnya menjadi tempat hang out bagi masyarakat.

Dengan pembenahan di sekitaran bawah jembatan Ampera, kesan Palembang yang dulunya di cap “berbahaya” kini menghilang. “Banyak programnya juga berhasil. Terutama masalah air ledeng yang dulu sulit didapat kini bisa dinikmati masyarakat luas,” tandas Ali Mansyur.

Masa emas kepemimpinan Eddy-Romi yang akrab dipanggil HERO ini juga sempat dikemukakan Ir H Anwar Rifa’i, Dosen Arsitektur IGM yang kini berumur 75 tahun. Pria yang sudah mengenal beberapa Walikota, dari zaman Walikota ke-12 era H Ali Amin (1955-1960) melihat banyak terobosan besar dilakukan Eddy Santana yang sudah dua periode menjabat Walikota Palembang.

Ir Chairul Murod MT, dosen Arsitektur Fakultas Tehnik Unsri serta principal Magma Architect Community. Dalam pandangan dua akademisi ini, selain keberhasilan membangun BKB, pengembangan Puskesmas swakelola, jangkauan PDAM yang hampir menyentuh seluruh sudut kota, pembangunan Rusunawa, beroperasinya Bus Trans Musi, masuknya gas kota yang murah bagi masyarakat, pembangunan gedung DPRD yang megah, tertatanya kawasan Kambang Iwak (KI), hingga diraihnya Piala Adipura yang kini genap kelima kali berturut -turut menunjukan Palembang sebagai Kota Metropolitan yang bersih terjadi dibawah kepemimpinan Eddy Santana. Bahkan, dalam kacamata Anwar Rifa’i sendiri, julukan kota metropolitan atau metropolis bagi Palembang juga terjadi pada masa Eddy Santana.


Principal Magma Architect Community
Tanggal 16 Juni mendatang umur kota Palembang genap mencapai 1.329 tahun. Namun, urusan pemerintahan, kota metropolis ini baru dipimpin oleh yang namanya Walikota sejak tahun 1919. Hingga kini, tercatat 20 Walikota yang pernah memimpin Palembang. Tak sembarang orang mengenal seluruh Walikota tersebut, Ir H Anwar Rifa’i yang kini berumur 74 tahun setidaknya hanya mengenal Walikota ke-12, H Ali Amin (1955-1960) hingga Walikota yang masih aktif, Ir H Eddy Santana Putra MT.

Anwar mengawali karirnya sebagai PNS dilingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang sejak tahun 1962 pada dinas Pekerjaan Umum (PU), masa kepemimpinan Walikota Abdullah Kadir (1962-1968). Beberapa jabatan penting pernah diembanya di dinas PU, Tata Kota hingga Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Tahun 1991 Anwar pindah ke Pemerintah Provinsi dan pensiun tahun 1995. hal inilah yang membuatnya mengenal sosok Walikota dari masa ke masa.

Dalam pandanganya, tiap Walikota mempunyai kelebihan serta kekurangan. Namun, tiap kepemimpinan Walikota mempunyai arah pembangunan berkesinambungan layaknya anak tangga. Tiap Walikota biasanya meneruskan pembangunan dari para pendahulunya.

Sosok Ali Amin, ayah almarhum budayawan Djohan Hanafiah sendiri dikenal Anwar sebagai sosok conceptor handal. “Pasar Cinde merupakan salah satu karyanya,” ungkap Anwar mengawali perbincangan dikediamanya komplek Bukit Sejahtera Polygon, Selasa (8/6) lalu.

Sedangkan Abdullah Kadir, dinilainya sebagai seorang pemberani. Seingat Anwar, Abdullah Kadir yang mantan anggota Polri itu, membangun infrastruktur di Palembang tanpa modal. Hal yang membuat Anwar memberikan nilai plus pada pemimpin yang satu ini.

Tak mendapat bantuan keuangan dari pemerintah pusat, Abdullah Kadir berani meminjam uang untuk membangun kota empek-empek ini. Istilahnya gali lubang, tutup lubang. Hasilnya cukup signifikan. Pembangunan, penampalan jalan hingga pembangunan perumahan, salah satunya di kawasan Jl Rajawali yang dulunya rawa dapat berjalan dengan baik.

Zaman Rasyad Nawawi (1968-1970) tak begitu banyak perubahan. Kondisi politik yang tidak stabil ikut mempengaruhi era kepemimpinanya. Barulah pada masa pemerintahan RHA Arifa’i Tjek Yan (1970-1978) ekonomi di Palembang mulai menggeliat.

Mang Yan –sapaan akrab RHA Arifa’i Tjek Yan- dinilai Anwar cukup mujur. Banyak bantuan pemerintah pusat dikucurkan pada masa Mang Yan. Alhasil, pembangunan fasilitas umum dan sosial berjalan. Dari gedung Sekolah Dasar (SD), jalan, Puskesmas, hingga kantor Camat.

“Di beberapa kawasan, seperti Ilir Barat (IB), Ilir Timur (IT) serta Seberang Ulu (SU), kantor Camat dibuat berdekatan dengan kantor polisi. Ini ide dari Mang Yan,” ujar Dosen Arsitektur di IGM ini. Sentral ekonomi masyarakat Palembang, kawasan pasar 16 Ilir yang dulunya sempit, diperlebar. Ini merupakan terobosan terbesar pada masa pemerintahan Mang Yan.

Masuk pada masa kepempimpinan Drs H Dahlan HY (1978-1983) tak begitu banyak terobosan. Dahlan dikatakan Anwar hanya meneruskan kebijakan pembangunan pendahulunya. Hal senada diungkapkan Ir Chairul Murod Mt. “Secara fisik, zaman pak Dahlan belum ada perkembangan signifikan,” ujar Dosen Arsitektur Fakultas Tehnik Unsri dibincangi Selasa (8/6) lalu.

Dalam pandangan pria yang juga menjabat sebagai principal Magma Architect Community ini, perkembangan pembangunan kembali menggeliat pada masa kepemimpinan H Cholil Aziz SH. Pasalnya, bangunan fisik sebagai bukti nyata berhasilnya program dicanangkan mulai terlihat. Hal ini terlhat dari berdirinya komplek Ilir Barat Permai, International Plaza (IP), pertokoan Dika, Megharia, kawasan perumahan elit Bukit Sejahtera Polygon, rumah susun (rusun), serta perumahan di kawasan Perumnas.

Memang, pembangunan fisik seperti ini bukan semata kerja seorang Walikota. Selain swasta, banyak juga peranan dari Pemerintah Provinsi (Gubernur). Seperti awal pembangunan jembatan Musi II pada masa Cholil Aziz merupakan kerjasama dengan Gubernur Sainan Sagiman. Jembatan Musi II sendiri baru selesai pengerjaan pada masa kepemimpinan Drs H Husni (1993-2003).

“Salah satu terobosan zaman pak Cholil Aziz adalah rencana induk Palembang yang sekarang namanya Tata Ruang (Master Plan). Kalau ada Tata Ruang berarti ada guiding (petunjuk) pembangunan, berarti sudah ada perencanaan pembangunan matang,” ungkap Murod.

Masa kepemimpinan H Husni beberapa catatan penting ditorehkan. Seingat Murod, Rencana Induk Palembang pada masa Cholil Aziz direvisi menjadi Rencanan Tata Ruang Wilayah Kota. Pasar 16 Ilir yang sempat terbakar juga kembali dibangun pada masa H Husni. Terakhir kemegahan Stadion Gelora Jakabaring tak lepas dari peran reklamasi (penimbunan) pada masa H Husni dengan Gubernur H Ramli Hasan Basri. Stadion yang kini menjadi stadion kebanggan wong kito, selesai pada masa kepemimpinan Ir Eddy Santana bersama Ir Syahrial Oesman.

Keberhasilan signifikan Walikota Palembang dalam pandangan Murod serta Anwar Rifa’i ditorehkan Eddy Santana Putra (2003-sekarang). Eddy dinilai dua akademisi ini menorehkan catatan emas. Terobosan besar tentu saja pembangunan Benteng Kuto Besak (BKB) yang kini menjadi tempat hiburan bagi keluarga, wisatawan serta event besar lainya. Meski telah dicanangkan sejak zaman H Husni, keberhasilan Eddy Santana menyulap kawasan BKB yang dulunya pasar becek dan kumuh menjadi tempat hang out merupakan suatu keberhasilan tersendiri.

Pengembangan Puskesmas swakelola, naiknya RSUD Bari dari RS type C ke B, jangkauan PDAM yang hampir menyentuh seluruh sudut kota, pembangunan Rusunawa di Kasnariansyah, beroperasinya Bus Trans Musi, masuknya gas kota yang murah bagi masyarakat, pembangunan gedung DPRD yang megah, tertatanya kawasan Kambang Iwak (KI), hingga diraihnya Piala Adipura empat kali berturut-turut menunjukan Palembang sebagai kota metropolitan yang bersih terjadi dibawah kepemimpinan Eddy Santana. Dalam kacamata Anwar Rifa’i sendiri, julukan Kota Metropolitan atau Metropolis bagi Palembang juga terjadi pada masa Eddy Santana.

Kawasan Seberang Ulu yang sering dinilai tertinggal kini pun menjadi perhatian. Selain stadion, Bank Sumsel, Islamic Center, wisma atlit, water boom bakal dibangun di kawasan Jakabaring. “Bersama dengan Gubernur, zaman pak Eddy, kawasan Seberang Ulu sudah mulai diperhatikan,” urai Murod.

Namun, Eddy bukanya tanpa celah. Hingga kini, masalah banjir yang sering menyerang Palembang sejak dulu belum terpecahkan. Masalah pembangunan jalan lingkungan pun ikut disoroti. “Penanganan banjir sudah dilaksanakan, tapi belum maksimal. Masih banyak titik-titik banjir. Termasuk jalan lingkungan. Sudah dilaksanakan pengecoran, tapi belum maksimal juga,” tandas Murod. (wwn)

Sumber: Sumeks Minggu