Keraton Kesultanan Palembang berkomunikasi dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Jawa, Arab, dan Melayu. Bahasa melayu hidup di kawasan ini jauh sebelum Kesultanan berdiri dan di yakini sebagai bahasa masyarakat asli. Tertulis dengan huruf pallawa, bahasa Melayu di gunakan dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 M). Prasasti yang ditemukan ditepi Sungai Tatang, sebelah barat Kota Palembang, pada tahun 1920, menandai berdirinya Kerajaan Sriwijaya.
Berbagai temuan sejarah Kerajaan Sriwijaya, termasuk arca dan stupika, menunjukkan bahwa Sriwijaya menjalin kerjasama serta berkomunikasi erat dengan para saudagar dan pemuka agama dari China, India, dan Arab. Hal itu membuktikan bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan. Sriwijaya memiliki rentang wilayah kekuasaan yang luas, meliputi hampir seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Jawa. Setelah keruntuhan Sriwijaya, pada abad ke - 14, Palembang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Namun, kekuasaan Majapahit tidak mengakar dikawasan ini. Majapahit sendiri duguncang perang saudara, tak lama berekspansi ke pulau Sumatera. Palembang nyaris menjadi daerah tak bertuan, hingga kekuasaan baru di bangun Ki Gede Ing Suro bersama para pengikutnya. Kelompok bangsawan ini menyingkir ke Palembang, setelah kalah dalam perseteruan Kesultanan Demak di Jawa Tengah.
Kontinuitas kultural Jawa tertanam sebagai dasar legitimasi Keraton Palembang. Budayawan Palembang, Djohan Hanafiah mencatat, keterkaitan politik ini berakhir setelah Sultan Abdurrahman (1659-1706) memproklamasikan Kesultanan Palembang pada tahun 1675. Jeroen Peeteers dalam Kaum Tuo Kaum Mudo, perubahan religius Palembang 1821-1942 (1997) memaparkan, dikalangan Keraton, Bahasa Jawa Kromo (bahasa Jawa halus) menjadi bahasa resmi. Akan tetapi, pemakaian bahasa ini tidak tersebar luas diluar lingkungan Keraton Palembang.
Merujuk pada sejumlah naskah berbahasa Jawa yang tersimpan di Royal Asiatic Society, Londo, Peeteers menyakini naskah-naskah tersebut juga hanya beredar dilingkungan keraton. Beberapa naskah berbahasa Jawa ini antara lain Teks Panji (1801) yang ditulis atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin. Kesultanan Palembang Darussalam menjadikan agama Islam sebagai dasar negara. Oleh karena itu, ulama mendapatkan penghormatan sangat tinggi Sultan yang berkuasa. Mujib Ali dalam tulisan Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang (1997), mengungkapkan penelitiannya bahwa ulama Kesultanan yang mendampingi dan menjadi penasehat Sultan selalu dimakamkan ditempat, bilik, dan deretan yang sama dengan sultan.
Pada makam Kesultanan di Candi Walang, Palembang misalnya, makan susuhan abd 'I-Rahman Khalifat 'I Mukminin Sayyid 'I Imam diapit makam permaisuri dan dan makam Imam Sultan bernama Sayyid Mustafa Alaidrus dari negeri Yaman. Penataan serupa terdapat pula pada makam-makam Sultan yang lain di Kebon Gede, Kawah Tengkurep, dan Kampung 1 Ilir.
Selain didampingi ulama, Sultan juga memiliki juru tulis khusus untuk penulisan bahasa Arab. Bahasa dan tulisan Arab digunakan dalam kitab-kitab utama pengajaran Islam di Palembang, termasuk naskah yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir. Sebagian naskah-naskah keagamaan yang ditemukan, merupakan kitab yang langsung dibawa dari Arab. Sebagian lainnya disalin dengan ketelitian yang tinggi di Palembang.
Akan tetapi, seperti bahasa Jawa Kromo yang hanya di kuasai oleh kalangan bangsawan, bahasa Arab juga lebih dikuasai para guru atau kalangan ulama. Sejumlah naskah keagamaan menggunakan bahasa Arab dilengkapi dengan terjemahan bahasa Melayu, walaupun tetapdi tulis dengan huruf Arab. Naskah-naskah sastra, antara lain hikayat yang berbentuk prosa maupun syair, serta berbagai kisah dalam naskah-naskah pada masa Kesultanan lebih banyak ditulis dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu (Arab Melayu). Kegiatan surat-menyurat, antara laindari Gubernur Batavia juga ditemukan dalam bahasa Arab Melayu.
Djohan Hanafiah dalam bukunya Masjid Agung, Sejarah dan Masa Depan (1988) menyebutkan, Abdul Samud Al-Palembani (1704-1788) adalah salah satu penulis keagamaan yang paling menonjol pada masa Kesultanan. Palembani menuntut ilmu di Mekkah dan belajar tarikat pada Muhammad Al-Saman di Madinah. Sebagian karya Palembani ditulis ketika ia masih berada dinegeri Arab. Karya-karya Palembani antara lain, Hikayat Al-Salikin dan Syair Al-Salikin yang merupakan terjamahan karya Al-Ghazali. Disamping dua kitab berbahasa melayu tersebut, terdapat pula Zahrat al Murid fi bayan al Tauhid, dan lima kitab keagamaan lainnya dalam bahasa Arab.
Sebagian buku-buku Al-Palembani merupakan naskah yang masih tersimpan diberbagai perpustakaan, antara lain di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, Perpustakaan Universitas Leiden Belanda, dan Russian Institute of Oriental Studies di Leningrand Rusia. Mujib menjelaskan, naskah "favorit" Sultan Mahmud Badaruddin II yang ia temukan dalam penelitian adalah Mir'atu at Tulab karya Ar-Raniri. Penelitian pada kantor Deputi urusan Arkeologi inimenjelaskan, kitab ini berisikan pedoman pelaksanaan tata pemerintahan kesultanan.
KOMPAS
0 komentar:
Posting Komentar