Rumah apung atau lebih dikenal rumah rakit, hingga kini masih menghiasi Sungai Musi. Bentuknya yang unik menjadi daya tarik tersendiri. Tidak ada rasa takut penghuninya mendiami rumah tersebut. Sayang, jumlahnya tak banyak lagi.
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Bagi masyarakat Palembang, sebutan rumah rakit tidak asing lagi. Bahkan pada zaman Kesultanan Palembang pendatang yang berkunjung harus menetap di atas rakit termasuk warga Inggris, Spanyol, Belanda, Cina, Campa, Siam, bahkan Kantor Dagang Belanda pertama berada di atas rakit, lengkap dengan gudangnya. Rumah rakit ini selain sebagai tempat tinggal, juga berfungsi sebagai gudang, dan kegiatan ekonomi.
Memang, keberadaan Sungai Musi kala itu sangat vital hingga menjadi urat nadi Kota Palembang. Bahkan, menjadi jalur transportasi perdagangan lintas negara. Hingga saat ini, rumah tersebut masih lestari. Tapi, jangan salah, lambat-laun terancam punah jika pemerintah enggan melestarikan rumah yang menjadi warisan turun-temurun masyarakat Palembang ini.
Rumah rakit sendiri pada dasarnya merupakan bentuk rumah yang tertua di Kota Palembang dan mungkin telah ada pada zaman Kerajaan Sriwijaya. "Rumah rakit sudah ada sejak dulu. Orang tua saya lama tinggal di rumah ini, kami sangat bersahabat dengan sungai," ujar Ridwan, warga yang bermukim di pinggiran sungai.
Keberadaan rumah rakit jangan dijadikan sesuatu yang aneh, justru ini menjadi aset daerah yang harus dipertahankan. Memang, zaman sekarang sedikit sekali yang mau tinggal di sungai, kebanyakan di darat. Tapi, itulah hasil karya masyarakat temp dulu. Artinya, patut dihargai, sehingga menjadi kebanggaan bersama.
"Itu ada jiwanya, jadi tidak bisa dipaksakan. Tentunya, rumah rakit ini harus dijaga kelestariannya. Jika tidak, maka hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu kita," terangnya. Pemerintah tentunya jangan tinggal diam. Harus ada upaya pelestarian, dengan tetap menjaga kebersihan sungai. Karena pada dasarnya, rumah rakit itu terbilang unik.
Fondasi terbuat dari bambu yang menjadi bahan utama membuat rakit. Bahan bambu inilah yang membuat rumah rakit bisa mengapung. Naik serta turun, tergantung pasang surut sungai. "Terlepas dari apa yang melekat pada rumah rakit tersebut, tentunya menjadi catatan bersama, bahwa jika keberadaan rumah rakit tersebut berkurang, maka anak cucu kita hanya akan mendengar ceritanya saja, tanpa mampu menyaksikan bentuk rumah rakit dimaksud," katanya.
Hasyim (67), warga asli Palembang, punya cerita tersendiri tentang rumah rakit ini. Menurutnya, rumah yang berbahan baku bambu baratapkan kajang kala itu, kerap dihuni warga asing dari Cina. "Warga Cina yang hendak berdagang ke Palembang kala itu banyak bermukim di rumah rakit karena, permukiman di daratan belum ada. Itulah sebabnya, pada zaman Kesultanan Palembang, orang asing harus menghuni rumah rakit," ujarnya.
Masih kata dia, rumah rakit ini peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan. Memang, tidak semua orang mampu membuat rumah rakit, karena rumah tersebut membutuhkan dana besar. Terlebih, setiap tahun bambu sebagai bahan utama, harus dilakukan penggantian. Jika dibiarkan saja, maka berdampak pada kerusakan yang menimbulkan tenggelamnya rumah tersebut. (roz/asa/ce4)
Dahulu, rumah terbuat dari kayu dan bambu yang menggunakan atap kajang (nipah) dan sirap. Belakangan ini, menggunakan atap seng, karena bahan yang lebih ringan dan bisa menahan tiupan angin kencang. Rumah rakit memang hanya terdapat di Palembang, Sumsel. Konon, dahulu merupakan hunian keturunan Tionghoa.Rumah rakit merupakan bentuk rumah tertua di Kota Palembang dan telah ada pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Saat itu, penduduk asing yang berniaga harus tinggal di rumah rakit karena mereka tidak diberikan izin untuk menetap di daratan.
Rumah rakit ini tidak hanya dijadikan tempat tinggal bagi puluhan keluarga, tetapi menjadi lokasi strategis berniaga. Namun, puluhan rumah rakit di Sungai Musi sebagian besar berupa bangunan yang terbuat dari bahan kayu yang tampak rapuh.
Yanto (47), pemilik rumah rakit di kawasan Kertapati mengakui, tinggal di rumah rakit karena tidak mampu membeli rumah di darat. "Dulu, kami membangun rumah di atas sungai karena tidak mampu menyewa tempat tinggal di darat," ujarnya.
Ia menjelaskan membangun rumah rakit lebih dari 20 tahun lalu dan hanya cukup diketahui RT dan warga sekitar sungai. Rumah rakit tersebut terbuat dari kayu berupa papan seperti umumnya rumah di darat.
Di dalam ada ruang tamu, ada ruang tidur, ruang tengah untuk nonton TV, kamar mandi, dapur seperti layaknya rumah tinggal kita di daratan. Rumah Yanto tersebut diadaptasi dengan kondisi arus air karena didesain persis rakit kayu yang akan bergerak ketika air bergerak. "Ketika musim hujan, air sungai pasang, biasanya rumah berada di tengah sungai. Ketika sungai surut, rumah pun bergeser ke tepi," katanya lagi.
Menurutnya, rumah rakit dibuat dengan sistem knockdown. Maksudnya, bagian-bagian rumah, seperti pintu, jendela, dan lainnya sudah dibuat terlebih dahulu. Pemerintah harus benar-benar serius untuk melestarikan rumah rakit. (roz/ce4)
Pengamat budaya dan sejarah Palembang, Ali Hanafiah, mengatakan, rumah apung atau rumah rakit tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Sungai Musi sebagai jalur perdagangan internasional sejak zaman dahulu.
Ali yang menjabat Kepala UPTD Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang ini berharap, pemerintah kota memperhatikan dan melestarikan rumah rakit. "Pemerintah, warga, dan budayawan harus duduk bersama untuk mencari solusi terbaik agar rumah rakit tetap eksis dan menjadi ikon Sungai Musi. Misalnya, pemerintah bisa menjadikan rumah rakit sebagi hotel atau tempat penginapan yang menarik bagi para turis dan wisatawan yang ingin menikmati keindahan Sungai Musi," ungkapnya.
Ali menyatakan, pembangunan rumah rakit sangat jarang dan warga kurang meminatinya. Tapi, demi kelangsungan salah satu ikon budaya Palembang ini, maka mau tidak mau keberadaan rumah rakit tetap harus dipertahankan pemerintah.
Agar rumah rakit diminati banyak kalangan, maka rumah tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, walau tidaklah mengubah seratus persen bentuk dan struktur bangunan.
"Kalau bisa, isi dalam rumah rakit dibuat lebih modern biar warga atau turis merasa nyaman. Tapi untuk bagian luar tetap dipertahankan, yakni bahan utama bambu dan kalau bisa menggunakan atap dari nipah, biasanya dicat berwarna merah dan biru, sebagi ciri khas rumah rakit sejak zaman dulu," ujarnya.
Pada masa kini, rumah rakit lebih memilih menggunakan atap dari bahan seng dan genteng, sementara nipah sudah ditinggalkan. Alasannya, karena nipah rawan ditiup badai dan angin kencang. Selain atap nipah, salah satu ciri khas dari rumah rakit adalah adanya toilet terapung. (roz/ce4)
0 komentar:
Posting Komentar